Mimpi telah memikat perhatian dunia medis dan ilmiah selama berabad-abad. Meskipun teknologi dan pengetahuan tentang tidur telah berkembang pesat, masih ada satu teka-teki besar yang belum terpecahkan sepenuhnya: mengapa mimpi sangat mudah dilupakan?


Beberapa potongan mimpi mungkin masih terbayang sesaat setelah bangun tidur, namun sebagian besar lenyap tanpa jejak dalam hitungan detik.


Koneksi Otak yang Terputus antara Tidur REM dan Pembentukan Memori


Sebagian besar mimpi yang paling jelas dan penuh warna terjadi saat fase tidur yang dikenal sebagai rapid eye movement (REM). Pada fase ini, aktivitas otak sangat tinggi, bahkan menyerupai kondisi saat terjaga. Namun, justru pada fase ini otak paling tidak efektif dalam menyimpan informasi ke dalam memori jangka panjang.


Menurut Dr. Raphael Vallat, seorang ahli saraf dari University of California, Berkeley, bagian otak bernama korteks prefrontal yang berperan penting dalam penalaran logis dan konsolidasi memori justru mengalami penurunan aktivitas saat tidur REM. Inilah sebabnya mengapa ingatan terhadap mimpi sering kali terputus-putus atau bahkan hilang seluruhnya. Sebaliknya, bagian otak seperti amigdala dan hipokampus yang memproses emosi dan visual sangat aktif, tetapi tidak berkomunikasi secara efektif dengan sistem penyimpanan memori.


Peran Asetilkolin dan Norepinefrin dalam Pelupaan Mimpi


Faktor kimiawi dalam otak juga berperan penting dalam mengapa mimpi mudah dilupakan. Selama tidur REM, kadar asetilkolin meningkat, yang membuat mimpi menjadi lebih hidup secara visual dan emosional. Namun, pada saat yang sama, kadar norepinefrin, senyawa penting dalam pembentukan memori, justru hampir tidak ada.


Sebuah studi tahun 2022 yang diterbitkan dalam Nature Reviews Neuroscience menunjukkan bahwa norepinefrin sangat penting dalam proses yang disebut penandaan sinaptik, yang diperlukan untuk membentuk memori jangka panjang. Ketidakhadirannya selama REM sangat mungkin menjadi alasan utama mengapa mimpi gagal disimpan dalam memori episodik.


Gelombang Theta dan Gangguan Waktu dalam Tidur REM


Penelitian dengan menggunakan elektroensefalogram (EEG) menunjukkan bahwa gelombang otak theta mendominasi selama tidur REM. Meskipun dalam keadaan terjaga gelombang ini berkaitan dengan pembentukan memori, kehadirannya secara terisolasi dalam tidur tidak cukup untuk menciptakan ingatan yang stabil.


Sebuah tinjauan klinis tahun 2023 yang diterbitkan di Sleep Medicine Clinics mengungkapkan bahwa tidur REM bersifat terfragmentasi secara waktu. Meskipun singkat, momen terbangun mikro ini memutus alur mimpi yang sedang berlangsung dan menghambat pembentukan memori yang utuh. Tanpa urutan waktu yang jelas, isi mimpi tidak memiliki struktur untuk diingat kembali saat bangun.


Gangguan Kortikal saat Bangun Tidur


Ketika seseorang bangun dari tidur, bagian otak bernama dorsolateral prefrontal cortex tiba-tiba aktif setelah sebelumnya nyaris tidak berfungsi selama tidur REM. Aktivasi mendadak ini justru mengganggu pola saraf mimpi yang masih rapuh. Dalam dunia medis, ini disebut sebagai "gangguan retroaktif," yaitu saat pikiran sadar yang baru terbentuk menimpa jejak mimpi yang masih lemah. Akibatnya, hanya mimpi yang sangat emosional atau sering diulang yang bisa bertahan dalam ingatan.


Pengaruh Ritme Sirkadian dan Struktur Tidur


Penelitian terbaru menunjukkan bahwa waktu dan struktur tidur sangat mempengaruhi kemungkinan seseorang mengingat mimpi. Fase REM terakhir yang terjadi menjelang bangun tidur memiliki peluang terbesar untuk diingat. Namun, jika seseorang terbangun saat fase non-REM atau terganggu oleh suara dari luar, peluang untuk mengingat mimpi menurun drastis.


Pengaruh Obat-obatan terhadap Kemampuan Mengingat Mimpi


Obat-obatan tertentu dapat memengaruhi keseimbangan neurotransmitter dan berdampak besar pada kemampuan mengingat mimpi. Misalnya, obat antidepresan jenis SSRI diketahui dapat menekan durasi tidur REM dan mengurangi kesadaran terhadap mimpi. Sementara itu, obat antikolinergik yang menurunkan kadar asetilkolin juga berdampak pada ketajaman visual dan ingatan terhadap mimpi. Temuan ini sangat penting dalam praktik medis, terutama untuk pasien dengan gangguan neurologis atau kejiwaan.


Variasi Individu: Faktor Genetik dan Gaya Berpikir


Tidak semua orang melupakan mimpi dengan kecepatan yang sama. Sebagian orang yang dikenal sebagai "pengingat mimpi tinggi" menunjukkan konektivitas yang lebih kuat antara bagian otak temporoparietal dan korteks prefrontal medial, area yang terkait dengan kesadaran diri dan introspeksi. Sebuah studi fMRI tahun 2023 yang dimuat dalam The Journal of Neuroscience menemukan bahwa mereka yang sering mengingat mimpi memiliki aktivitas otak yang lebih tinggi di area tersebut baik saat tidur maupun terjaga. Temuan ini menunjukkan adanya dasar biologis bagi variasi dalam kemampuan mengingat mimpi.


Lupa terhadap mimpi bukanlah kesalahan otak, melainkan hasil dari sistem otak yang saling terpisah selama tidur. Kombinasi dari aktivitas prefrontal yang menurun, minimnya norepinefrin, serta gangguan dalam alur waktu menyebabkan otak menciptakan lingkungan yang cocok untuk bermimpi, tetapi tidak untuk mengingatnya.


Memahami mekanisme ini bukan hanya memuaskan rasa penasaran, tetapi juga membuka pintu untuk wawasan baru dalam bidang medis. Dari perspektif neurologi dan ilmu tidur, fenomena ini dapat memberikan informasi berharga tentang gangguan memori, efek obat terhadap kesadaran, hingga cara kerja kesadaran manusia itu sendiri.