Anemia akibat penyakit kronis atau dikenal juga sebagai anemia peradangan adalah salah satu jenis anemia yang paling sering ditemui di dunia medis.


Berbeda dari anemia yang disebabkan oleh kekurangan nutrisi, ACD berhubungan erat dengan aktivasi sistem imun yang berlangsung lama, seperti yang terjadi pada infeksi kronis, gangguan autoimun, kanker, hingga penyakit ginjal kronis.


Ciri khas dari ACD adalah terganggunya proses produksi dan umur sel darah merah. Gangguan ini dipicu oleh interaksi kompleks antara mediator sistem imun dan pengatur hematopoiesis. Salah satu faktor kunci yang terlibat dalam proses ini adalah eritropoietin (EPO), hormon utama yang mengatur pembentukan sel darah merah, namun fungsinya sangat dipengaruhi oleh kondisi peradangan kronis.


Peran Penting Eritropoietin dalam Produksi Sel Darah Merah


Eritropoietin diproduksi terutama oleh sel-sel khusus di ginjal, dengan kontribusi tambahan dari hati. Produksi hormon ini sangat bergantung pada kadar oksigen dalam tubuh, ketika kadar oksigen rendah, tubuh akan merespons dengan meningkatkan produksi EPO. Setelah dilepaskan ke dalam aliran darah, EPO akan menempel pada reseptor yang ada di sel-sel prekursor eritroid di sumsum tulang, yang kemudian merangsang pertumbuhan dan pematangan sel darah merah.


Dalam kondisi normal, mekanisme ini berjalan dengan baik untuk menjaga pasokan oksigen tetap optimal ke seluruh jaringan tubuh. Namun, pada penyakit kronis, sistem pengaturan ini terganggu. Akibatnya, produksi EPO bisa menurun atau tubuh tidak merespons EPO dengan baik, sehingga anemia tidak kunjung membaik.


Peradangan Kronis: Penghalang Utama Produksi Eritropoietin


Peradangan kronis menyebabkan tubuh memproduksi berbagai jenis sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosis factor-alfa (TNF-α). Sitokin-sitokin ini menghambat produksi EPO dari ginjal dengan cara menekan ekspresi gen yang bertanggung jawab atas pembentukannya.


Dr. Maria Thompson, seorang peneliti hematologi terkemuka dari Universitas Cambridge, menjelaskan bahwa “lingkungan peradangan mengubah cara kerja sel ginjal dalam menghasilkan EPO, sebagian melalui peningkatan protein penghambat yang menekan aktivitas gen eritropoietin.” Selain itu, lingkungan sumsum tulang juga mengalami perubahan karena pengaruh sitokin tersebut, yang menyebabkan terganggunya fungsi sel stromal yang mendukung pertumbuhan prekursor eritroid. Akibatnya, produksi sel darah merah secara optimal.


Resistensi terhadap Eritropoietin: Masalah Besar dalam Terapi


Selain produksi EPO yang menurun, masalah utama lain dalam menangani ACD adalah resistensi terhadap eritropoietin. Artinya, meskipun kadar EPO dalam darah normal atau bahkan tinggi, sel-sel prekursor di sumsum tulang tidak merespons secara optimal. Hal ini terjadi karena sinyal dari EPO tidak dapat diteruskan dengan baik akibat pengaruh sitokin peradangan yang merusak fungsi reseptor EPO dan jalur pensinyalan di dalam sel.


Stres oksidatif, yang sering meningkat pada kondisi peradangan kronis, juga memperburuk situasi dengan merusak sel hematopoietik dan lingkungan tempat mereka berkembang. Ditambah lagi, hormon hepcidin yang meningkat saat peradangan menyebabkan zat besi terperangkap di dalam makrofag. Akibatnya, zat besi tidak tersedia untuk produksi sel darah merah, sehingga proses pembentukan darah menjadi makin terganggu.


Strategi Terapi: Gabungan Eritropoietin Sintetik dan Pendekatan Baru


Dalam dunia medis, penggunaan eritropoietin rekombinan (rhEPO) menjadi andalan untuk menangani ACD. Namun, karena tubuh dalam keadaan peradangan, efektivitas terapi ini sering terbatas dan membutuhkan dosis tinggi, yang dapat menimbulkan efek samping seperti tekanan darah tinggi atau risiko penyumbatan pembuluh darah.


Oleh karena itu, pendekatan terbaru dalam pengobatan mulai fokus pada pengendalian peradangan. Obat-obatan seperti penghambat IL-6 dan antagonis hepcidin menunjukkan hasil menjanjikan dalam uji klinis awal karena dapat memulihkan sensitivitas sumsum tulang terhadap EPO. Selain itu, terapi kombinasi antara agen anti-inflamasi dan stimulan eritropoiesis dapat menjadi standar baru pengobatan yang lebih personal dan efektif.


Riset Terkini: Membongkar Jaringan Molekuler dan Pengembangan Biomarker


Penelitian mutakhir terus menggali hubungan molekuler antara mediator peradangan dan jalur pensinyalan eritropoietik. Dengan bantuan teknologi genomik dan proteomik, para ilmuwan menemukan pola ekspresi yang berbeda dari reseptor EPO dan molekul pensinyalan intraseluler pada pasien dengan respons terapi yang bervariasi.


Dr. Anthony Reynolds, seorang ahli nefrologi dari Mayo Clinic, menegaskan bahwa “mengidentifikasi tanda molekuler yang bisa memprediksi respons terhadap EPO dapat menjadi terobosan dalam stratifikasi pasien dan perencanaan terapi yang lebih tepat sasaran.” Sejumlah biomarker baru yang sedang diteliti meliputi kadar hepcidin dalam darah, eritroferron, dan mikroRNA tertentu yang mengatur fungsi prekursor eritroid.


Eritropoietin memainkan peran sentral dalam keseimbangan tubuh antara kebutuhan oksigen dan respons sistem imun. Pada kondisi peradangan kronis, produksi hormon ini ditekan dan kemampuan sumsum tulang untuk meresponsnya turut terganggu, menciptakan hambatan berlapis terhadap pembentukan sel darah merah yang efektif.