Sering kali dianggap hanya sebagai faktor latar belakang dalam ekonomi, inflasi sebenarnya memiliki pengaruh besar terhadap kinerja investasi. Jika diabaikan atau diremehkan, inflasi bisa secara perlahan menghancurkan potensi akumulasi kekayaan.
Memahami hubungan kompleks antara inflasi dan hasil investasi bukan hanya penting untuk perencanaan keuangan jangka panjang, tetapi juga menjadi kunci untuk membuat keputusan yang tangguh di tengah kondisi ekonomi global yang terus berubah.
Meskipun Indeks Harga Konsumen (IHK) sering dijadikan tolok ukur utama inflasi, terlalu mengandalkan angka headline dapat menyesatkan strategi investasi. Inflasi bersifat dinamis dan memengaruhi sektor serta wilayah secara berbeda. Misalnya, harga makanan dan energi mungkin melonjak, sementara sektor teknologi atau layanan kesehatan justru mengalami perlambatan atau bahkan penurunan harga. Karena dampaknya tidak merata, strategi investasi yang seragam tentu tidak akan efektif.
Aset Pendapatan Tetap Rentan Terhadap Inflasi
Instrumen pendapatan tetap dirancang untuk memberikan pembayaran yang dapat diprediksi. Namun, dalam periode inflasi tinggi, kepastian ini justru bisa menjadi kelemahan. Nilai riil dari arus kas yang diterima akan menyusut seiring waktu, menyebabkan daya beli investor menurun. Inilah yang disebut risiko inflasi, dan dampaknya paling terasa pada obligasi jangka panjang.
Bahkan surat utang jangka pendek pun dapat kehilangan nilai secara riil apabila inflasi meningkat secara tiba-tiba. Dalam merespons inflasi, bank sentral seperti Federal Reserve cenderung menaikkan suku bunga. Langkah ini memicu penurunan harga obligasi, mempermahal biaya pinjaman, dan mengakibatkan kerugian modal bagi pemegang obligasi. Di sisi lain, risiko kredit juga meningkat ketika perusahaan kesulitan menutupi biaya produksi yang meningkat, sehingga potensi gagal bayar ikut naik.
Investor harus bijak menimbang antara hasil (yield) dan pengembalian riil, bukan hanya terpaku pada tingkat kupon nominal.
Saham: Pelindung Inflasi atau Justru Perangkap?
Secara historis, saham mampu mengungguli inflasi dalam jangka panjang karena perusahaan dapat menyesuaikan harga dan menciptakan pertumbuhan laba riil. Namun, ini bukanlah jaminan. Pada sektor dengan kekuatan penetapan harga yang rendah, seperti utilitas dan produk konsumen non-esensial, margin keuntungan dapat tergerus jika biaya meningkat lebih cepat dibanding harga jual.
Inflasi juga memengaruhi model valuasi saham, khususnya metode arus kas yang didiskonto (DCF). Model ini sangat bergantung pada suku bunga untuk menghitung nilai sekarang dari laba masa depan. Ketika inflasi meningkat, suku bunga naik, dan nilai sekarang dari laba mendatang turun. Ini sangat merugikan saham-saham pertumbuhan yang sebagian besar nilainya berasal dari proyeksi laba jangka panjang.
Menyesuaikan Alokasi Aset dengan Ancaman Inflasi
Dalam menyusun strategi alokasi aset, inflasi harus dianggap sebagai risiko utama. Diversifikasi tetap penting, tetapi dalam kondisi tidak menentu, diversifikasi yang mempertimbangkan inflasi menjadi lebih kritikal. Portofolio tradisional 60/40 (60% saham dan 40% obligasi) sering kali gagal berkinerja optimal dalam lingkungan inflasi tinggi, kecuali didukung oleh aset yang tahan terhadap inflasi.
Beberapa aset yang bisa menjadi pelindung alami terhadap inflasi antara lain: komoditas seperti emas dan minyak, serta instrumen investasi properti seperti REITs (Real Estate Investment Trusts). Aset riil memiliki nilai intrinsik dan cenderung meningkat saat nilai mata uang menurun. Proyek infrastruktur, terutama yang kontraknya menyesuaikan dengan inflasi, juga menawarkan pendapatan yang stabil dan terlindung dari inflasi.
Surat utang pemerintah yang terikat inflasi adalah alat penting lainnya. Nilai pokok dan pembayaran bunganya menyesuaikan dengan tingkat inflasi, menjaga nilai riil investasi. Meskipun imbal hasilnya cenderung lebih rendah dibanding obligasi konvensional, aset ini cocok digunakan sebagai penyeimbang risiko, bukan sebagai pendorong utama keuntungan.
Berpikir dalam Nilai "Riil", Bukan Nominal
Bagi investor jangka panjang, termasuk mereka yang merencanakan pensiun atau membangun kekayaan lintas generasi, penting untuk memikirkan hasil dalam istilah riil. Inflasi tahunan yang tampaknya kecil, misalnya 3% dapat mengurangi daya beli uang hingga setengahnya dalam waktu sekitar 24 tahun.
Erosi ini memiliki dampak langsung terhadap strategi penarikan dana pensiun, kewajiban dana pensiun, dan pengeluaran lembaga filantropi. Oleh karena itu, banyak penasihat keuangan kini menggunakan simulasi Monte Carlo yang disesuaikan dengan inflasi untuk memodelkan hasil keuangan dan menguji ketahanan portofolio terhadap berbagai skenario ekonomi.
Inflasi dan Perangkap Psikologis Investor
Salah satu dampak inflasi yang sering terabaikan adalah dampak psikologis. Dalam ilmu ekonomi perilaku, dikenal istilah "ilusi uang" kecenderungan untuk fokus pada nilai nominal ketimbang nilai riil. Misalnya, kenaikan gaji mungkin terasa sebagai kemajuan, padahal inflasi dapat meniadakan manfaat riil dari kenaikan tersebut.
Dalam periode inflasi tinggi, investor sering kali tergoda untuk mengejar aset berisiko demi imbal hasil yang lebih tinggi secara nominal. Perilaku ini mengabaikan potensi volatilitas dan risiko kerugian. Fenomena meningkatnya minat terhadap aset spekulatif selama periode inflasi adalah salah satu contohnya.
Apa yang Harus Diwaspadai Investor di Tahun 2025
Data terkini menunjukkan bahwa meskipun inflasi puncak telah berlalu di beberapa negara, tingkat inflasi masih berada di atas rata-rata sebelum pandemi. Tekanan upah, gangguan rantai pasok, serta ketidakpastian di wilayah penghasil energi terus mempengaruhi tren inflasi global.
Beberapa indikator penting yang perlu diperhatikan antara lain:
- Indeks Harga Konsumen (IHK) dan IHK Inti: IHK inti memberikan gambaran yang lebih stabil karena mengecualikan harga makanan dan energi yang fluktuatif.
- Ekspektasi Inflasi: Survei terhadap konsumen dan pelaku pasar bisa memengaruhi kebijakan moneter dan harga aset.
- Pergerakan Kurva Imbal Hasil: Kurva hasil yang terbalik bisa menandakan perlambatan pertumbuhan dan perubahan ekspektasi inflasi.
- Panduan Kebijakan Bank Sentral: Arah kebijakan memengaruhi ekspektasi suku bunga dan berdampak langsung terhadap pasar saham dan obligasi.
Inflasi mungkin tak terelakkan, namun kerugian bukanlah suatu kepastian. Investor yang menjadikan inflasi sebagai pertimbangan utama dalam strategi mereka, baik dalam alokasi aset, penilaian nilai wajar, hingga pengendalian emosi, memiliki peluang lebih besar untuk mempertahankan dan menumbuhkan kekayaan riil.