Dalam dunia riset medis, keragaman penyakit menjadi tantangan besar, baik dari segi diagnosis maupun penanganan. Metode transkriptomik tradisional kerap mengaburkan perbedaan ekspresi gen karena hanya mengukur secara rata-rata dari campuran berbagai jenis sel.


Namun, munculnya teknologi single-cell RNA sequencing (scRNA-seq) telah mengubah cara pandang tersebut secara radikal. Teknologi ini memungkinkan analisis ekspresi gen hingga ke tingkat sel tunggal.


Profesor Arjun Malhotra, seorang ahli patologi molekuler dari Cambridge Institute for Medical Research, menegaskan, “Analisis RNA secara massal seringkali membuat identitas sel dalam jaringan penyakit menjadi kabur. Pendekatan sel tunggal mengungkap keragaman yang relevan secara klinis dan biologis.”


Presisi Tinggi: Cara Kerja scRNA-seq


Teknologi scRNA-seq bekerja dengan memisahkan ribuan sel secara individual lalu memberikan kode unik pada masing-masing sel. Setelah itu, dilakukan proses transkripsi balik dan amplifikasi RNA untuk memetakan ekspresi gen secara mendalam. Platform berbasis droplet seperti 10x Genomics Chromium kini menjadi standar dalam banyak penelitian karena efisiensinya dan kemampuan skalanya yang tinggi.


Keunggulan utama scRNA-seq terletak pada kemampuannya mendeteksi jenis sel yang langka, menangkap transisi antar keadaan sel, dan mengungkap pola ekspresi gen spesifik pada garis keturunan sel tertentu. Ini menjadi sangat penting dalam riset bidang kanker, imunologi, hingga neurobiologi.


Riset Kanker: Mengungkap Komposisi Tumor


Jaringan kanker terdiri dari berbagai jenis sel dengan sifat genetik dan fenotipik yang berbeda-beda. Melalui scRNA-seq, para peneliti mampu memetakan heterogenitas tumor dengan membedakan sel ganas dari komponen pendukung seperti sel stroma dan sel imun. Sebuah studi penting yang dipublikasikan di Nature Medicine pada tahun 2024 berhasil menggunakan scRNA-seq untuk meneliti sampel glioblastoma, dan menemukan kelompok sel yang kebal terhadap terapi, yang sebelumnya tidak terlihat melalui analisis histopatologi biasa.


Hasil penelitian ini juga mengungkap adanya program transkripsi yang aktif pada sel-sel resisten tersebut. Informasi ini membuka peluang untuk merancang terapi kombinasi yang lebih efektif di masa depan.


Gangguan Inflamasi: Memetakan Keberagaman Sel Imun


Dalam penyakit inflamasi kronis, kerusakan jaringan sering kali disebabkan oleh sel imun yang tidak terkontrol. Dengan scRNA-seq, para ilmuwan kini dapat mengenali berbagai subpopulasi sel T, B, dan mieloid yang memiliki peran penting dalam proses peradangan. Misalnya, dalam cairan sendi pasien rheumatoid arthritis, ditemukan jenis makrofag pro-inflamasi yang mengekspresikan gen TNFSF10 dan CCL2.


Penemuan ini tidak hanya membedakan antara tipe penyakit yang erosif dan non-erosif, tetapi juga mendorong pengelompokan ulang penyakit autoimun berdasarkan profil molekuler, bukan hanya gejala klinis semata.


Penyakit Infeksi: Menelusuri Respon Sel terhadap Patogen


Dalam kasus penyakit infeksi, scRNA-seq memungkinkan pemetaan bagaimana tiap sel dalam tubuh merespons serangan mikroorganisme. Selama pandemi SARS-CoV-2, data scRNA-seq membantu mengungkap perbedaan cara sel-sel epitel saluran napas bereaksi terhadap virus.


Sebuah studi besar tahun 2023 yang dipimpin oleh Dr. Serena Cheng dari Karolinska Institute menunjukkan bahwa sel-sel dengan tingkat tinggi ekspresi gen yang distimulasi interferon memiliki profil proteksi yang kuat. Temuan ini juga berkaitan dengan tingkat keparahan gejala yang lebih ringan pada individu tertentu.


Penyakit Neurodegeneratif: Menelusuri Kerusakan Sel Otak


Penyakit seperti Parkinson dan Alzheimer ditandai dengan kerusakan spesifik pada jenis sel saraf tertentu. Pendekatan analisis massal sering gagal mendeteksi populasi sel yang terdampak karena kompleksitas jaringan otak. scRNA-seq, terutama jika digabung dengan teknik transcriptomik spasial, telah berhasil mengidentifikasi kelompok oligodendrosit dan astrosit yang menunjukkan respons inflamasi awal dalam model Alzheimer.


Informasi ini menjadi sangat berharga dalam pengembangan biomarker dini dan target terapi baru untuk penyakit neurodegeneratif yang saat ini belum memiliki pengobatan kuratif.


Inovasi dan Tantangan Teknologi


Walaupun menjanjikan, teknologi scRNA-seq memiliki tantangan tersendiri. Misalnya, tingkat kehilangan data yang tinggi, efek batch, dan kepadatan data yang rendah membuat analisis menjadi kompleks. Oleh karena itu, digunakan berbagai perangkat lunak canggih seperti UMAP untuk reduksi dimensi dan algoritma klaster seperti Louvain atau Leiden untuk klasifikasi sel.


Pendekatan berbasis deep learning, seperti autoencoder dan graph neural network, juga mulai diterapkan untuk memperbaiki prediksi keadaan sel dan rekonstruksi jalur perkembangan sel.


Menuju Pengobatan Presisi: Dari Laboratorium ke Klinik


scRNA-seq membuka babak baru dalam dunia pengobatan presisi. Saat ini, berbagai upaya sedang dilakukan untuk mengintegrasikan data sel tunggal ke dalam proses diagnosis klinis. Misalnya, pengklasifikasi berbasis scRNA sedang diuji untuk mengidentifikasi subtipe leukemia dengan akurasi yang lebih tinggi dibanding metode sitogenetik.


Lebih lanjut, strategi terapi personal seperti CAR-T kini dikembangkan berdasarkan peta ekspresi sel tunggal dari tumor pasien. Masa depan klasifikasi penyakit akan bergerak dari pendekatan berbasis histologi ke arah pemetaan molekuler yang jauh lebih detail.


scRNA-seq bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan sebuah revolusi konsep. Dengan kemampuannya menyingkap perilaku spesifik tiap sel dalam jaringan kompleks, teknologi ini tidak hanya memperdalam pemahaman tentang keragaman penyakit, tetapi juga menyediakan data penting untuk menciptakan terapi yang benar-benar sesuai dengan kondisi tiap individu.