Memahami gangguan pembekuan darah pada perempuan bukanlah hal yang bisa dilakukan dengan pendekatan umum. Siklus hormonal yang kompleks, fungsi reproduksi, serta kelainan pembekuan darah bawaan maupun yang didapat menciptakan tantangan diagnostik dan penanganan yang unik.
Meskipun sebagian variasi perdarahan masih dianggap wajar, ada kondisi tertentu yang dapat menjadi pertanda adanya gangguan hematologis serius dan membutuhkan perhatian segera.
Ketika Menstruasi Menjadi Isyarat Masalah Darah
Menstruasi yang berlangsung lebih dari tujuh hari atau menghasilkan lebih dari 80 mililiter darah disebut sebagai pendarahan menstruasi berat (heavy menstrual bleeding/HMB). Meski angka ini terkesan teknis, dalam praktiknya penilaian berdasarkan volume seringkali tidak akurat.
Menurut Dr. Andra H. James, ahli hematologi dari Duke University, “Setiap wanita yang mengalami haid sampai mengganggu aktivitas harian atau harus menggunakan perlindungan ganda, sebaiknya diperiksa kemungkinan adanya gangguan pembekuan darah.” Salah satu penyebab paling umum adalah penyakit Von Willebrand (VWD), yaitu kelainan pembekuan darah bawaan yang memengaruhi sekitar 1% dari populasi umum. Namun, banyak kasus yang tidak terdiagnosis. Berdasarkan data dari American Society of Hematology (ASH), sekitar 20% wanita yang datang dengan HMB ternyata memenuhi kriteria diagnosis VWD.
Tidak Hanya Von Willebrand: Ragam Kelainan Pembekuan
Meski VWD paling sering disebut, bukan berarti gangguan pembekuan lainnya bisa diabaikan. Kekurangan faktor pembekuan (seperti faktor V, VII, X, XI), gangguan fungsi trombosit, dan kelainan fibrinogen juga dapat menyebabkan perdarahan abnormal, baik saat menstruasi, pasca melahirkan, maupun saat tindakan medis.
Sebuah studi multi-senter yang dipublikasikan tahun 2023 oleh jurnal Haematologica menunjukkan bahwa gangguan fungsi trombosit lebih sering ditemukan pada wanita muda dengan riwayat perdarahan berulang daripada yang sebelumnya diperkirakan. Sementara itu, sindrom antifosfolipid (APS) yang dikenal sebagai penyebab pembekuan darah justru dapat memunculkan perdarahan paradoksal, terutama jika disertai dengan trombositopenia. APS juga berkaitan dengan keguguran berulang, sehingga penting dipertimbangkan dalam konteks kesehatan reproduksi.
Pengaruh Hormon: Pedang Bermata Dua
Obat berbasis estrogen, baik untuk kontrasepsi maupun terapi hormonal, diketahui berpengaruh terhadap sistem pembekuan darah. Obat ini meningkatkan produksi faktor pembekuan di hati dan menurunkan aktivitas antitrombin, sehingga tubuh lebih mudah mengalami pembekuan.
Bagi wanita yang memiliki kelainan trombofilia yang tidak terdeteksi, seperti mutasi Factor V Leiden atau prothrombin G20210A, penggunaan kontrasepsi kombinasi bisa sangat meningkatkan risiko terjadinya trombosis vena (VTE). Ini bukan sekadar teori. Sebuah analisis kohort tahun 2024 dari British Journal of Haematology mencatat bahwa wanita di bawah usia 35 tahun yang menggunakan kontrasepsi generasi ketiga memiliki risiko VTE enam kali lipat lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak menggunakannya, terutama jika mereka membawa mutasi genetik tersebut.
Masa Kehamilan dan Pascamelahirkan: Saat Sistem Pembekuan Berubah Total
Kehamilan membawa perubahan besar dalam sistem pembekuan darah. Produksi faktor pembekuan meningkat, sementara zat anti-pembekuan menurun, dan proses penghancuran bekuan (fibrinolisis) ditekan. Tujuan fisiologisnya adalah untuk melindungi ibu dari perdarahan berlebihan saat persalinan.
Namun, bagi wanita yang sudah memiliki gangguan pembekuan darah, perubahan ini bisa menciptakan situasi yang tidak seimbang dan berbahaya. Maka, pemantauan selama kehamilan dan pasca melahirkan sangatlah penting.
Strategi Diagnosis: Tepat Sasaran dan Tepat Waktu
Menentukan diagnosis gangguan pembekuan pada wanita tidak cukup hanya dengan pemeriksaan darah lengkap (CBC) atau uji waktu pembekuan standar seperti PT/aPTT. Saat ini, alat penilaian perdarahan (bleeding assessment tool/BAT) yang dikembangkan oleh ISTH telah terbukti efektif untuk digunakan dalam populasi ginekologis.
Jika skor BAT tinggi, maka evaluasi lebih lanjut sebaiknya mencakup:
- Panel Von Willebrand (aktivitas ristocetin, kadar antigen, dan faktor VIII)
- Studi agregasi trombosit
- Pemeriksaan kadar faktor pembekuan
- Tes lupus antikoagulan dan antibodi antifosfolipid
Waktu pengambilan sampel juga sangat krusial. Misalnya, kadar faktor von Willebrand bisa meningkat sementara akibat stres atau perubahan hormon, yang dapat menghasilkan hasil negatif palsu jika tidak diperhitungkan.
Penanganan yang Bersifat Individual dan Preventif
Protokol pengobatan harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien. Desmopresin (DDAVP) menjadi terapi lini pertama untuk VWD tipe 1. Obat antifibrinolitik seperti asam traneksamat juga efektif untuk HMB dan perdarahan saat tindakan medis.
Terapi hormonal tetap bisa digunakan, namun setelah dilakukan skrining trombofilia secara menyeluruh. Sistem intrauterin yang melepaskan levonorgestrel (LNG-IUS) telah terbukti dapat mengurangi perdarahan menstruasi hingga 90% dan bisa menjadi pilihan yang lebih aman dibandingkan terapi estrogen sistemik.
Untuk kondisi trombotik seperti APS, penggunaan antikoagulan jangka panjang seperti heparin berat molekul rendah atau warfarin merupakan standar. Pedoman terbaru dari EULAR tahun 2024 bahkan menyarankan agar obat antikoagulan jenis baru tidak digunakan pada kasus APS risiko tinggi karena potensi kekambuhan yang lebih tinggi.
Sudut Pandang Klinis: Apa Itu “Normal”?
Menstruasi yang dianggap normal seringkali menyesatkan. Setiap wanita memiliki pola perdarahan yang berbeda, bila perdarahan menyebabkan gangguan aktivitas, anemia, atau terus berulang meski telah diobati secara standar, maka perlu dicurigai adanya gangguan pembekuan darah.
Dr. Paula James, ahli hematologi dari Queen’s University, menyampaikan, “Perdarahan abnormal pada wanita sering kali dianggap biasa, atau sekadar masalah hormonal. Tapi jika kita tidak mengajukan pertanyaan yang tepat dan tidak melakukan tes yang sesuai, kita bisa melewatkan kondisi yang sebenarnya bisa diobati.”
Gangguan pembekuan darah pada wanita bukanlah hal yang langka maupun sepele. Kondisi ini memengaruhi hampir seluruh fase kehidupan reproduksi wanita, dari menstruasi pertama hingga menopause. Penanganan yang optimal memerlukan kolaborasi antara hematolog, ginekolog, dan dokter umum. Diagnosis dini, penilaian risiko, serta pengobatan yang tepat waktu sangat penting untuk mencegah komplikasi, menjaga kesuburan, dan meningkatkan kualitas hidup. Sudah saatnya kita membuka mata terhadap masalah yang selama ini sering diabaikan dan memberikan perhatian medis yang layak bagi para wanita yang mengalaminya.