Cystinosis merupakan penyakit genetik langka yang termasuk kelompok gangguan penyimpanan lisosom. Ciri khas dari penyakit ini adalah penumpukan kristal cystine yang abnormal di organ tubuh. Penyakit ini diturunkan secara autosomal resesif dan disebabkan oleh mutasi pada gen CTNS, yang berperan sebagai pengkode protein cystinosin, transporter cystine di membran lisosom.


Ketika fungsi cystinosin terganggu, cystine menumpuk di dalam lisosom dan menimbulkan kerusakan seluler, terutama pada ginjal, mata, tiroid, otot, dan sistem saraf pusat. Meskipun jarang ditemui, cystinosis menjadi model penting untuk memahami penyakit penyimpanan kristal sistemik.


Mekanisme Molekuler: Gangguan Transportasi Cystine


Secara molekuler, cystinosis terjadi akibat ketidakmampuan sel untuk mengeluarkan cystine dari lisosom. Normalnya, cystinosin berperan sebagai “pintu keluar” bagi cystine dari lisosom ke bagian lain sel agar dapat diolah lebih lanjut. Namun, mutasi pada gen CTNS membuat proses ini terhenti, sehingga cystine menumpuk dan mengkristal di dalam lisosom. Kristal tersebut memicu berbagai reaksi negatif seperti stres oksidatif, peradangan kronis, dan kematian sel, yang secara perlahan merusak fungsi organ.


Dr. Stephanie Cherqui, seorang peneliti terkemuka dari Universitas California, San Diego, menegaskan, “Penumpukan kristal cystine bukan sekadar efek samping, melainkan pemicu utama jalur kerusakan sel yang menjelaskan mengapa penyakit ini menyerang banyak organ sekaligus.”


Gejala Klinis: Ginjal Menjadi Target Utama


Organ pertama yang terkena dampak adalah ginjal, biasanya terlihat sejak usia kurang dari satu tahun. Salah satu tanda khasnya adalah sindrom Fanconi, sebuah kondisi di mana ginjal kehilangan zat-zat penting seperti gula, protein, fosfat, dan elektrolit melalui urin. Kondisi ini mengakibatkan gejala seperti sering buang air kecil (poliuria), ketidakseimbangan elektrolit, pertumbuhan terhambat, dan rakhitis. Tanpa pengobatan, cystinosis dapat berkembang menjadi gagal ginjal stadium akhir pada usia sekitar 10 tahun.


Selain ginjal, penumpukan cystine juga dapat mengganggu fungsi mata dengan munculnya kristal pada kornea yang menyebabkan rasa silau (fotofobia). Organ lain yang mungkin terkena adalah kelenjar tiroid, otot, serta sistem saraf, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme, kelemahan otot, dan gangguan fungsi kognitif. Studi jangka panjang menunjukkan bahwa komplikasi neurologis seperti miopati distal dan kesulitan menelan sering muncul pada masa remaja hingga dewasa, menandakan perjalanan penyakit yang kronis.


Strategi Diagnosis: Lebih dari Sekadar Melihat Kristal


Diagnosis cystinosis tidak lagi hanya mengandalkan pemeriksaan mata untuk melihat kristal di kornea. Kini, metode diagnosis sudah jauh lebih canggih dan akurat, meliputi beberapa cara berikut:


- Pengukuran kadar cystine dalam sel darah putih (leukosit): Ini adalah standar utama untuk memastikan adanya penumpukan cystine dalam sel.


- Tes genetik CTNS: Sangat penting untuk memastikan diagnosis dan memberikan konseling genetik.


- Biomarker baru: Para peneliti terus mencari penanda plasma yang bisa menunjukkan tingkat keparahan penyakit dan respons terhadap terapi.


Terobosan Terapi: Cysteamine dan Harapan Baru


Pengobatan utama cystinosis adalah pemberian cysteamine, obat yang mampu menetralisir cystine dalam lisosom dan mengubahnya menjadi bentuk yang bisa dikeluarkan tanpa bergantung pada cystinosin. Pemberian cysteamine sejak dini dapat memperlambat kerusakan ginjal, mengurangi komplikasi pada organ lain, dan meningkatkan harapan hidup pasien.


Namun, cysteamine bukanlah obat yang menyembuhkan total. Penggunaan jangka panjang sering kali terkendala oleh frekuensi dosis yang harus rutin dan efek samping seperti gangguan pencernaan dan bau mulut. Formulasi baru dengan pelepasan tertunda telah membantu meningkatkan kenyamanan penggunaan obat ini. Selain itu, kelompok peneliti Dr. Emilie Cherqui baru-baru ini melaporkan hasil yang menggembirakan dari studi praklinis menggunakan terapi gen untuk mengembalikan fungsi normal CTNS, membuka peluang revolusi dalam pengobatan cystinosis.


Pendekatan Multidisipliner: Menangani Dampak Sistemik


Penanganan cystinosis harus dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan berbagai spesialis:


- Dokter spesialis ginjal untuk menangani gangguan fungsi ginjal dan ketidakseimbangan elektrolit.


- Dokter mata yang merawat masalah kornea dengan tetes cysteamine khusus.


- Dokter endokrin yang mengatasi gangguan tiroid dan kekurangan hormon pertumbuhan.


- Dokter saraf guna mengelola gejala neuromuskular yang muncul pada tahap lanjut.


Selain itu, uji klinis sedang berjalan untuk mengeksplorasi terapi tambahan yang menargetkan stres oksidatif dan peradangan akibat kristal cystine. Kemajuan teknologi pengeditan gen seperti CRISPR-Cas9 juga menjanjikan kemungkinan koreksi mutasi CTNS secara langsung di tingkat DNA.


Kerumitan cystinosis menggarisbawahi pentingnya diagnosis dini, pendekatan pengobatan yang dipersonalisasi, dan riset yang berkelanjutan. Sebagaimana diungkap oleh Dr. Cherqui, “Memahami dasar molekuler cystinosis membuka jalan bagi pengobatan inovatif yang dapat mengubah masa depan pasien secara dramatis.”