Hidradenitis Suppurativa (HS) bukan lagi dianggap sebagai infeksi kulit biasa. Penyakit ini kini diakui sebagai kondisi kronis yang dipicu oleh gangguan sistem imun tubuh.
Pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad lalu, HS dulu dikira hanya infeksi lokal. Namun, seiring berkembangnya pemahaman tentang imunologi, HS telah direklasifikasi menjadi gangguan auto-inflamasi yang melibatkan komponen autoimun.
Meski begitu, HS masih kerap tidak terdiagnosis dan kurang ditangani dengan baik, terutama di negara dengan keterbatasan fasilitas kesehatan. Kekambuhan jangka panjang, dampak psikologis, serta kegagalan antibiotik konvensional dalam menghentikan perkembangan penyakit ini, mendorong perlunya perubahan besar dalam pendekatan riset dan strategi pengobatannya. Kini, para ahli mengakui bahwa HS bukan hanya gangguan kulit semata, melainkan kondisi sistemik yang melibatkan disfungsi imun kompleks.
Mekanisme Imun dan Tanda Molekuler yang Mengungkap Wajah Asli HS
Berbeda dengan penyakit autoimun klasik yang didorong oleh antibodi abnormal, HS melibatkan respon imun bawaan yang terlalu aktif serta sinyal T-sel yang menyimpang. Sejumlah molekul penyebab peradangan seperti TNF-α, IL-1β, IL-17, dan IL-23 ditemukan meningkat pada area kulit yang terdampak.
Kondisi ini dipicu oleh penyumbatan folikel rambut yang menyebabkan reaksi inflamasi berulang. Faktor genetik juga turut berperan. Mutasi pada gen penyusun kompleks γ-secretase (seperti NCSTN dan PSENEN) menyebabkan gangguan jalur Notch, yang penting dalam diferensiasi sel kulit. Akibatnya, folikel rambut menjadi terlalu sensitif dan lebih mudah mengalami peradangan.
Menurut Dr. Marcia Ramos-e-Silva, seorang dermatologis dan ahli imunopatologi, “HS adalah titik temu antara mekanisme auto-inflamasi dan autoimun. Meski berbeda dengan autoimunitas klasik, dampaknya bisa sangat merusak jika tidak ditangani dengan baik.”
Epidemiologi dan Dampak Serius pada Kehidupan
Meski tergolong penyakit langka, HS memiliki prevalensi antara 0,03% hingga 4% tergantung wilayah dan metode diagnosis. Paling banyak menyerang individu berusia 20–30 tahun dan lebih sering terjadi pada wanita. Namun, tingkat keparahan seringkali lebih tinggi pada pria, yang kemungkinan disebabkan keterlambatan mencari pengobatan atau pengaruh hormonal terhadap jalur imun.
HS juga sering terjadi bersamaan dengan sindrom metabolik, diabetes tipe 2, dan gangguan muskuloskeletal seperti spondiloartritis. Riset dari berbagai registri dermatologi Eropa menunjukkan bahwa lebih dari 30% pasien HS mengalami satu atau lebih komorbiditas autoimun. Fakta ini memperkuat argumen bahwa HS bukan sekadar masalah kulit, melainkan gangguan imun multisistem yang kompleks.
Tantangan Diagnosis dan Beragam Gejala Klinis
Gejala awal HS kerap menyerupai bisul, jerawat, atau infeksi kulit ringan, sehingga diagnosisnya sering tertunda bertahun-tahun, bahkan ada yang baru didiagnosis setelah 12 tahun menderita. Keterlambatan ini sangat merugikan karena HS yang tidak ditangani bisa berkembang menjadi saluran sinus yang menyakitkan, jaringan parut permanen, dan penurunan mobilitas di area tubuh yang terdampak.
Saat ini, diagnosis masih sangat bergantung pada pemeriksaan klinis berdasarkan bentuk lesi, kekambuhan, dan lokasi anatomi. Namun, teknologi baru seperti mikroskop konfokal reflektif dan ultrasonografi resolusi tinggi mulai dikembangkan untuk mendeteksi HS lebih awal serta memantau respons pengobatan. Dengan teknologi ini, diharapkan pasien bisa diklasifikasikan berdasarkan endotipe penyakit untuk penanganan yang lebih tepat sasaran.
Terobosan Pengobatan: Dari Antibiotik ke Terapi Biologis
Penanganan HS disesuaikan dengan tingkat keparahan menggunakan sistem klasifikasi Hurley. Pada tahap awal, dokter biasanya meresepkan klindamisin topikal atau antibiotik sistemik seperti tetrasiklin. Namun, pada kasus menengah hingga berat, terapi biologis menjadi andalan.
Adalimumab adalah satu-satunya terapi biologis yang saat ini telah disetujui secara resmi untuk HS. Bagi pasien yang tidak merespons, biologik lain seperti sekukinumab (anti–IL-17A) dan ustekinumab (anti–IL-12/23) menunjukkan hasil menjanjikan dalam uji klinis. Penghambat JAK seperti upadacitinib juga sedang diuji karena memiliki efek menekan sitokin yang lebih luas dan bekerja cepat. Pembedahan kini hanya dilakukan pada kasus jaringan parut berat atau ketika terapi biologik tidak berhasil.
Dr. Alexa Kimball dari Harvard Medical School menyatakan, “Tidak ada satu jalur terapi tunggal untuk HS. Pengobatan personal berbasis profil sitokin dan penanda genetik adalah masa depan penanganan HS.”
Dampak Psikososial dan Ekonomi yang Kerap Diabaikan
HS bukan hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga menimbulkan tekanan psikologis berat. Banyak penderita mengalami depresi, cemas, dan menarik diri dari kehidupan sosial. Lesi yang berulang dan bekas luka yang mencolok menyebabkan rendahnya rasa percaya diri hingga gangguan dalam dunia kerja.
Beban ekonomi yang ditimbulkan juga besar. Laporan tahun 2023 dari Global Dermatology Economics Group memperkirakan biaya tahunan per pasien mencapai lebih dari 12.000 USD, termasuk obat-obatan, pembedahan, dan kehilangan produktivitas. Kesadaran pasien dan advokasi publik pun semakin meningkat. Banyak organisasi mendorong asuransi untuk mencakup pengobatan HS serta mengadakan kampanye edukasi, terutama kepada dokter layanan primer agar diagnosis bisa dilakukan lebih dini.
Hidradenitis Suppurativa kini tidak bisa lagi dianggap sebagai gangguan kulit ringan. Gangguan ini melibatkan sistem imun, faktor genetik, serta berbagai komorbiditas sistemik. Dengan makin berkembangnya riset, penanganan HS kini mengarah pada pendekatan yang lebih personal dan presisi, bukan lagi sekadar pemberian antibiotik.