Di tengah gemerlap dunia keuangan modern yang dipenuhi model berbasis data dan platform perdagangan berkecepatan tinggi, terdapat satu elemen tak terlihat namun sangat memengaruhi perilaku investor: pikiran manusia. Di balik grafik dan algoritma, terdapat bias-bias perilaku yang mengakar dalam psikologi manusia.


Tanpa disadari, bias ini dapat mengaburkan penilaian rasional dan menjerumuskan investor ke dalam keputusan yang merugikan. Dari bereaksi berlebihan terhadap kabar pasar hingga bersikukuh pada aset yang terus merugi, perangkap kognitif ini bisa menggagalkan strategi investasi yang seharusnya solid.


1. Bias Terlalu Percaya Diri: Saat Rasa Tahu Membutakan


Rasa percaya diri memang penting dalam mengambil keputusan, tetapi terlalu percaya diri justru bisa menjadi bumerang. Banyak investor merasa mereka memiliki keahlian atau informasi yang lebih unggul, terutama setelah beberapa kali memperoleh keuntungan. Namun, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan berlebihan sering kali mengarah pada frekuensi perdagangan yang tinggi, penilaian risiko yang keliru, dan hasil investasi yang buruk.


Dr. Nina Carrell, peneliti psikologi keuangan di European Institute of Market Psychology, menyatakan bahwa investor yang terlalu percaya diri cenderung mengabaikan bukti yang bertentangan dengan keyakinannya, sehingga tetap mempertahankan investasi yang merugi atau masuk ke pasar tanpa riset memadai. Pendekatan terbaik adalah selalu menguji asumsi dan merendahkan ego saat menilai risiko.


2. Takut Rugi: Ketika Kerugian Lebih Menyakitkan dari Keuntungan


Menurut teori yang dikembangkan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky, kerugian memiliki dampak emosional yang jauh lebih kuat daripada keuntungan yang setara. Bias ini menyebabkan investor:


- Menjual saham yang untung terlalu cepat demi "mengamankan keuntungan"


- Enggan menjual aset yang merugi karena berharap nilainya pulih


- Menghindari peluang berisiko sedang meskipun potensi keuntungannya besar


3. Perilaku Ikut-ikutan: Bahaya Menyerah pada Arus


Ketika pasar sedang tidak menentu, banyak investor memilih mengikuti tindakan mayoritas daripada melakukan analisis mandiri. Perilaku ini dikenal sebagai herding, dan dapat mempercepat terbentuknya gelembung harga atau koreksi tajam.


Fenomena ini tak hanya terjadi pada investor individu, tetapi juga investor institusi yang cenderung mengikuti tren untuk menghindari risiko reputasi. Kunci menghindarinya adalah dengan tetap tenang, lakukan evaluasi mandiri, dan jangan biarkan tekanan sosial memengaruhi strategi investasi Anda.


4. Bias Jangkar: Terjebak pada Angka Lama


Bias jangkar terjadi ketika seseorang terlalu terfokus pada angka awal, seperti harga beli atau harga tertinggi suatu saham dan membuat keputusan berdasarkan angka tersebut, tanpa mempertimbangkan kondisi aktual. Misalnya, jika sebuah saham pernah menyentuh Rp 2.000 dan kini berada di Rp 1.200, investor cenderung menganggapnya murah, meskipun kondisi perusahaan telah berubah drastis.


Untuk menghindari bias ini, sebaiknya gunakan pendekatan yang berfokus ke masa depan, seperti model valuasi berbasis arus kas diskonto.


5. Bias Konfirmasi: Hanya Mencari yang Mendukung Pendapat


Manusia cenderung mencari informasi yang mendukung keyakinannya, dan mengabaikan fakta yang bertentangan. Ini bisa berbahaya dalam investasi karena menimbulkan “ruang gema” di mana hanya pendapat sejalan yang didengarkan.


Contohnya, seorang investor yang optimis mungkin hanya membaca analisis yang mendukung tren naik dan mengabaikan peringatan tentang penurunan. Cara menghindarinya adalah dengan secara aktif mencari pandangan yang berbeda, menilai berbagai skenario, dan terbuka terhadap data yang menantang keyakinan pribadi.


6. Bias Terbaru: Menganggap Tren Sekarang Akan Terus Berlanjut


Investor yang terpengaruh oleh bias terbaru cenderung percaya bahwa tren saat ini akan terus berlanjut tanpa henti. Setelah pasar mengalami kenaikan, investor cenderung yakin tren positif akan terus berlanjut. Sebaliknya, ketika pasar turun, mereka menjadi sangat pesimis.


Hal ini dapat menyebabkan keputusan membeli di harga tinggi dan menjual di harga rendah, dua hal yang sangat merugikan. Untuk mengatasi bias ini, penting untuk mengingat bahwa pasar bersifat siklus. Untuk menghindarinya, penting untuk memahami prinsip mean reversion (kembali ke rata-rata), serta menjaga disiplin dalam diversifikasi dan rebalancing portofolio secara berkala.


7. Bias Familiaritas: Terlalu Nyaman Bisa Menyulitkan


Kecenderungan untuk memilih saham atau instrumen yang dikenal, seperti perusahaan lokal atau industri yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, disebut bias familiaritas.


Contohnya, seseorang yang bekerja di sektor teknologi mungkin berinvestasi berlebihan di saham teknologi, yang justru menambah risiko jika sektor tersebut tertekan. Pendekatan yang disarankan adalah membangun portofolio berdasarkan analisis objektif, bukan kenyamanan emosional.


8. Akuntansi Mental: Menyalahartikan Uang Berdasarkan Asalnya


Akuntansi mental terjadi ketika seseorang memperlakukan uang secara berbeda tergantung dari asal atau tujuan penggunaannya. Misalnya, dana hasil hadiah atau pengembalian pajak dianggap sebagai "uang gratis" dan digunakan untuk investasi berisiko tinggi, sementara pendapatan rutin digunakan secara lebih hati-hati.


Pendekatan ini dapat menyebabkan inkonsistensi dalam strategi investasi. Sebaiknya, perlakukan semua dana dengan kerangka evaluasi risiko yang sama, tanpa memandang sumbernya.


Bias perilaku bukanlah tanda irasionalitas, melainkan cerminan cara kerja otak manusia. Namun dalam dunia investasi, bias yang tidak disadari bisa berdampak besar pada keputusan dan hasil. Memahami bias ini dan menerapkan strategi yang terstruktur bisa meningkatkan ketahanan mental dan kinerja portofolio.


Membangun kesadaran diri, menjalankan proses investasi yang disiplin, serta melakukan evaluasi berkala dengan pihak ketiga adalah cara-cara praktis untuk mengubah potensi bias menjadi keunggulan strategi.