Tahun 2025 menjadi titik balik bagi industri private equity (PE). Optimisme ekonomi yang dulu menyelimuti pasar global kini memudar, digantikan oleh realitas baru yang penuh tekanan. Kebijakan moneter yang semakin ketat, ketegangan geopolitik, dan sikap skeptis para investor telah mengguncang fondasi penilaian aset yang selama ini menopang pertumbuhan sektor PE.
Bagi dunia yang terbiasa hidup dari penggandaan nilai dan keuntungan berbasis utang, situasi ini bukan sekadar hambatan sementara, ini adalah perubahan struktural yang memaksa seluruh sektor untuk beradaptasi.
Dari Ekspansi Menjadi Koreksi: Inilah Penyebab Nilai Aset Terjepit
Sepuluh tahun terakhir adalah masa emas bagi private equity. Suku bunga rendah dan likuiditas yang tinggi menciptakan iklim investasi yang mendukung pertumbuhan pesat. Namun, di tahun 2025, kenyataan berbalik. Bank sentral di berbagai belahan dunia kini mempertahankan suku bunga tinggi dalam waktu lama. Biaya modal pun melonjak tajam, menjadikan model pembelian perusahaan dengan utang besar semakin tidak menarik.
Savita Subramanian, Kepala Strategi Ekuitas AS di Bank of America, menyatakan, “Model valuasi yang selama ini jadi andalan private equity sedang diuji oleh kondisi makroekonomi baru—di mana likuiditas mahal dan pertumbuhan tidak bisa lagi dijamin.” Perusahaan yang sebelumnya didanai oleh private equity kini harus membuktikan kelayakan valuasinya, bukan hanya dengan cerita pertumbuhan, tetapi juga dengan bukti nyata profitabilitas. Terutama bagi perusahaan yang diakuisisi saat puncak valuasi di 2021–2022, kenyataan saat ini cukup pahit.
Efek Denominator: Sinyal Bahaya dari Para Investor Institusional
Salah satu tekanan terbesar datang dari fenomena "denominator effect", yaitu ketika portofolio pasar publik mengalami penurunan, alokasi relatif untuk aset privat seperti PE ikut terpengaruh, meskipun belum terjadi penurunan nilai yang tercatat secara resmi. Ini menciptakan ketidakseimbangan dalam portofolio institusi besar dan memicu pergeseran alokasi investasi.
Dalam laporan kuartal pertama 2025 dari Cambridge Associates, disebutkan bahwa para investor institusional kini menuntut transparansi lebih tinggi, valuasi yang lebih rutin, serta strategi keluar yang lebih jelas, terutama untuk dana-dana lama. Akibatnya, banyak PE kesulitan menggalang modal baru karena adanya kekhawatiran soal penilaian aset yang belum disesuaikan. Investor kini ingin bukti nyata dari penciptaan nilai, dan banyak yang memilih mengalihkan dana ke infrastruktur, kredit swasta, atau pasar sekunder yang dianggap lebih stabil dan bisa diprediksi.
Jalan Keluar Tersumbat: IPO dan Akuisisi Melambat Drastis
Jalur tradisional untuk merealisasikan keuntungan, seperti IPO dan akuisisi strategis, saat ini mengalami kemacetan. Jendela IPO masih tertutup untuk sebagian besar perusahaan portofolio menengah, sementara pembeli korporasi enggan membayar mahal di tengah ketidakpastian harga.
Menurut PitchBook, tahun 2025 mencatat penurunan sebesar 40% secara global dalam jumlah exit perusahaan yang didukung private equity. Banyak perusahaan akhirnya harus menyimpan aset lebih lama dari yang direncanakan, membentuk apa yang disebut "portofolio zombie" yakni dana yang berisi aset dewasa yang sulit dijual dengan harga layak. Bahkan ketika exit berhasil dilakukan, nilai jual sering kali lebih rendah dari proyeksi saat akuisisi, membuat IRR (Internal Rate of Return) turun dan distribusi keuntungan tertunda.
Penyesuaian Nilai dan Fenomena "Down Round" Kian Umum
Semakin banyak PE yang mulai melakukan penurunan valuasi untuk menyesuaikan dengan kondisi pasar terkini. Meskipun terlihat negatif, langkah ini justru membuka peluang untuk penyesuaian harga yang lebih realistis dan mendorong keberhasilan penggalangan dana di masa depan. Dalam ekuitas pertumbuhan, istilah "down round" di mana perusahaan menggalang dana dengan valuasi lebih rendah dari sebelumnya, semakin sering terjadi.
Data dari Preqin menunjukkan bahwa dalam enam bulan pertama 2025, lebih dari 35% kesepakatan PE tahap awal melibatkan penurunan valuasi. Ini kontras tajam dengan euforia valuasi yang meledak beberapa tahun sebelumnya. Meskipun langkah ini bisa menimbulkan friksi internal, dalam jangka panjang, ini memungkinkan performa dana tampak lebih baik karena baseline baru yang lebih realistis.
Fokus Utama: Menciptakan Nilai dari Operasional
Saat inflasi valuasi tak lagi bisa diandalkan, PE mengalihkan fokus pada perbaikan operasional secara menyeluruh. Pengendalian biaya, peningkatan margin, dan transformasi digital menjadi hal wajib. Lisa Suh, Managing Director di Alvarez & Marsal, menyatakan bahwa "Era membeli pertumbuhan telah berakhir, kini saatnya menciptakan nilai dari dalam."
Beberapa PE bahkan merekrut mantan CEO, ahli teknologi, dan pakar rantai pasok untuk memimpin transformasi portofolio dari dalam. Pendekatan hands-on ini mencerminkan perubahan paradigma dari hanya membeli aset ke benar-benar membangun perusahaan yang kuat dan menguntungkan.
Pasar Sekunder: Katup Pelepas Tekanan
Ketika waktu keluar makin panjang, pasar sekunder menjadi jalan alternatif penting untuk likuiditas. Di 2025, GP-led secondaries, yakni restrukturisasi atau rekapitalisasi aset oleh sponsor PE semakin populer. Model ini memungkinkan perpanjangan kepemilikan sekaligus memberi likuiditas parsial bagi investor lama.
Menurut laporan Jefferies, volume transaksi pasar sekunder diperkirakan mencapai rekor $150 miliar pada akhir tahun ini. Namun, tidak semua transaksi ini mendapat sambutan positif. Isu transparansi harga dan potensi konflik kepentingan mendorong seruan akan pengawasan dan tata kelola yang lebih baik.
Regulasi Ketat Tambah Beban Baru
Di tengah semua tantangan ini, sektor PE juga menghadapi perubahan regulasi yang signifikan. Di Amerika Serikat, aturan baru SEC yang diberlakukan akhir 2024 mewajibkan pengungkapan lebih detail mengenai biaya, pengeluaran, dan perlakuan preferensial. Sementara di Eropa, regulasi keberlanjutan ESG di bawah SFDR Level 2 memengaruhi proses penggalangan dana dan penyaringan investasi.
Dunia PE tidak lagi bisa bersembunyi di balik tirai eksklusivitas dan minim transparansi. Kepatuhan kini bukan sekadar kewajiban, tetapi menjadi keunggulan kompetitif. Siapa pun yang gagal beradaptasi, akan kehilangan kepercayaan investor.
Tahun 2025 menandai era baru bagi dunia private equity. Masa kejayaan dengan modal melimpah dan valuasi tinggi sudah berakhir. Yang tersisa kini adalah dunia yang menuntut bukti nyata, aset demi aset, strategi demi strategi. Disiplin valuasi, keunggulan operasional, dan keterbukaan menjadi kunci kepercayaan. Siapa pun yang mampu menyesuaikan diri, bukan hanya akan bertahan, tetapi juga berpeluang menjadi pelopor dalam gelombang inovasi berikutnya dalam dunia modal privat.